Feeds:
Posts
Comments

Archive for November, 2008

“Blam..!!!”

j01459041

“Blam..!!!” Pintu itu dibanting keras-keras, suaranya berdenging di kuping saya. Jarak antara pintu dengan kursi tempat saya duduk hanya sekitar 3 meter saja sehingga tendangan anginnya pun terasa menghantam kepala. Beberapa detik kemudian pintu terbuka lagi, dan sejurus kemudian dibanting lagi, “Blam..!!!” Saya sempat memperhatikan pembantu RT kami yang sedang mencuci piring di dapur mengernyitkan dahinya keheranan mendengar suara bantingan pintu berturut-turut tersebut. Tetapi dalam hati saya bergumam.. ah mungkin orang ini sedang kesal atau underpressure terhadap situasi kampus atau kantornya. Lalu saya meneruskan membaca koran.

Tetapi ternyata tidak hanya sekali dua kali peristiwa serupa terjadi, melainkan memiliki pola yang jelas. Setiap saya duduk di kursi makan itu, saya bisa memastikan bahwa akan terjadi lagi peristiwa seperti itu lagi. Dan memang benar! Sebaliknya, apabila saya tidak sedang duduk di kursi itu, sementara orang yang sama melakukan aktivitas masuk-keluar kamar, ternyata pintu tak berdebam. Ternyata bunyi suara pintu itu halus! Hanya terdengar suara “klek” saja…

That’s really a simple message for me! Sangat jelas karena sudah merupakan pola yang berulang, bahwa ketika saya duduk di kursi itu, pintu itu seolah-olah berteriak pada saya: “Hei.. pergilah kau ini!” Dan ketika saya belum beranjak dari kursi itu, pintu itu berteriak lagi: “Hei, apa kau tuli? Pergilah..!!” Oleh karenanya, saya harus pandai-pandai membaca situasi, segera menyingkir agar kuping saya tak dihantam suara itu lagi.

Suara bantingan pintu itu merupakan komunikasi non verbal yang sangat jelas artinya. Secara ilmiah, kekerasan suaranya merupakan metakomunikasi yang menggarisbawahi pesan yang disampaikan. Secara ilmiah pula, bantingan pintu itu merupakan media yang mengantarkan pesan dari pengirimnya (sender) kepada penerimanya (receiver, yaitu saya). Medianya memang hanya itu karena selama ini komunikasi sudah tak terjadi lagi, atau dengan kata lain komunikasinya sudah putus. Bangunan komunikasi yang sudah runtuh ini memang sulit untuk dibangun lagi karena terjadi psychological block yang sulit ditembus. Sudah terbentuk stereotip, atau lebih tepatnya stigma, di benak sender bahwa receiver adalah orang yang tak pantas dihargai dan tak dikehendaki kehadirannya.

Jelasnya, dentaman pintu itu merupakan komunikasi yang simpel yang disampaikan secara cepat tanpa perlu berkata-kata verbal apapun, dan membentuk makna (meaning) yang jelas sesuai konteks situasi yang terjadi.

Well, masih terus terngiang-ngiang suara dentaman pintu itu. Desiran bunyi dan anginnya nya tak hanya menghantam kuping saya, tetapi bak palu godam yang menghujam dada saya. Kini saya hanya berdoa agar dada ini tak runtuh karenanya. Jauh dari keinginan membusungkan dada, saya hanya berusaha agar stigma itu tak benar adanya. It’s time to rely on my dear beloved wife.

Read Full Post »

SMS-1

“sory br bls skrg. kmrn hp lobat. sy bs ikut.” Itulah sepenggal SMS yang mampir ke layar telepon seluler saya minggu lalu. Singkat, padat, dan jelas pesannya. Meski begitu, yang membuat saya tidak nyaman adalah bahwa SMS balasan dari teman saya itu baru dikirim keesokan hari setelah saya kirim SMS sehari sebelumnya. Isi SMS saya cukup penting, mohon kepastian atas keikutsertaannya dalam rombongan yang akan berangkat besok pagi-pagi ke luar kota. Nah, dengan SMS balasan yang terlambat itu, maka teman saya tersebut terpaksa kami tinggalkan karena (dianggap) tidak memberi kabar. Padahal, SMS balasan tersebut menyatakan bahwa ia bisa ikut!

SMS (short messaging services) memang sudah merupakan komunikasi hari-harian hampir setiap orang. Kaya-miskin, kota-desa, tua-muda-anak, pria-wanita semua menggunakan SMS untuk berkomunikasi. Bahkan harian Kompas pernah menayangkan foto seorang petani berhenti sejenak membajak sawahnya untuk sekadar mengirimkan SMS kepada kawannya. Petani itu memencet HP nya di tengah-tengah sawah di samping kerbau dan bajaknya, masih dengan baju dan tangan yang berlepotan tanah. Luar biasa! Luar biasa karena petani itu sedang mengoperasikan dua alat sekaligus yang perbedaan teknologinya bak bumi dan langit.

Kembali ke contoh kasus teman saya tadi, meskipun SMS sudah menjadi alat komunikasi yang sangat canggih, praktis (user friendly) dan murah tetapi ternyata juga memiliki kelemahan. Ketika SMS tidak sampai atau tidak terbaca, maka pesan (message) yang disampaikan oleh pengirim (sender) tetap tidak bisa dijangkau oleh penerima (receiver). Dalam kajian ilmu komunikasi, maka telah terjadi hambatan dalam proses komunikasi tersebut (noise) yaitu rusaknya alat komunikasi (HP) atau adanya gangguan sinyal satelit (blankspot). 

Oleh karena itu, jangan pernah percaya 100% pada SMS karena tetap dimungkinkan terjadinya noise dalam komunikasinya. Kalau urgen, sebaiknya langsung telpon saja. Langsung bicara, langsung direspon.

Read Full Post »

img_02081

Dalam sebuah milis yang saya ikuti, sempat terjadi sebuah perdebatan perihal cara berkomunikasi kita dengan ‘bos’, Tuhan kita. Kebetulan, sebagian besar anggota milis memiliki keyakinan agama yang sama dengan saya, selain ada juga yang penganut modernitas dan Budha. Dalam perdebatan tersebut didiskusikan bagaimana umat Katolik mengucapkan doa, termasuk doa utama Bapa Kami, yang nuansanya selalu meminta dan meminta kepada Tuhan. Dengan pemahaman dan cara berpikir awam, maka doa tersebut seolah-olah menafikan kenyataan bahwa Tuhan adalah Maha Tahu. Dengan logika awam, kita berpikir bahwa tanpa mengucapkan permohonan pun, pasti Dia telah mengetahui apa yang kita butuhkan. Mengapa kita masih mengucapkan meminta dan meminta?

“..Berilah kami rejeki pada hari ini…” demikianlah penggalan doa utama tersebut.

Meskipun akhirnya diskusi via milis tersebut tak menghasilkan kesimpulan apapun, diserahkan kepada masing-masing pribadi bagaimana harus bersikap, tetapi setidaknya telah memberi pemahaman pada diri saya bahwa berdialog (berkomunikasi) dengan Tuhan tetap perlu dilakukan. Meskipun tiap hari kita mengucapkannya, tetapi rasa-rasanya hal itu tetap perlu dilakukan karena akhirnya akan memberikan ketenangan batin dan meyakinkan diri bahwa Dia senantiasa menyertai setiap langkah kita.

Oleh karena itu setiap pagi saat berangkat ke kantor, kira-kira selepas 100m dari rumah, saya selalu memulai doa pagi yang sangat pribadi. Sendirian, di mobil, di tengah kemacetan.

Pertama-tama selalu saya ucapkan syukur kepadaNya karena telah mengaruniakan kesehatan. Lalu berterima kasih karena telah dianugerahi sebuah keluarga (isteri -Cathrin- yang cantik, baikdan tulus mengasihi; 3 anak cowok -Rio, Seto, Hari- yang sehat, rajin, dan cerdas) yang luarbiasa. Terima kasih karena telah diperbolehkan menjalani karya hingga hari ini. Lalu mohon perlindungan agar segala perjalanan dan aktivitas sepanjang hari agar dihindarkan dari gangguan, kejahatan, bencana, maupun malapetaka. Dan akhirnya mohon diberkati atas karya yang akan saya kerjakan hari ini, serta rencana-rencana hidup yang akan kami laksanakan sekeluarga.

Akhir-akhir ini, tiap pagi isteri saya mengajak kami sekeluarga berdoa sebelum berangkat ke sekolah. Esensinya sama, namun kini dialog denganNya ini kami lakukan sekeluarga. Selepas itu, barulah saya antar anak-anak ke sekolah lanjut ke kantor.

Jadi, begitulah kami berdialog dengan ‘bos’. Diulang-ulang tiap hari, namun semakin memberi kedamaian di hati.

Read Full Post »

“Konon…”

“Konon…”, adalah sepenggal kata yang memiliki makna belum/tidak pasti. Kata ini biasanya digunakan sebagai awal dari rangkaian cerita atau kisah yang belum atau bahkan tidak bisa dipastikan kebenarannya. Misalnya: “Konon, artis ini bercerai dengan suaminya gara-gara kehadiran pihak ketiga dalam biduk rumah tangga mereka.” Jadi artis tersebut memang sudah bercerai, namun sebab-musabab perceraiannya merupakan hal yang masih samar-samar dan menimbulkan berbagai dugaan. Salah satu dugaan tersebut adalah perselingkuhan.

Kata ‘konon’ ini adalah kata yang sangat sering digunakan oleh media-media infotainmen yang content-nya berbasis pada gosip selebritis. Dalam bergosip-ria, kata ini menjadi kata yang super karena bisa dipergunakan oleh media untuk memancing kebenaran yang sedang dicari, dimana fakta-fakta yang sudah terkumpul belum mencukupi untuk pengambilan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya dalam contoh perceraian artis tersebut di atas, faktanya adalah perceraian sudah terjadi, namun ada tanda-tanda atau petunjuk yang mengarah ke perbuatan perselingkuhan. Oleh karena itu diperlukan bukti-bukti yang menunjang tanda-tanda itu misalnya kesaksian orang yang pernah menyaksikan si artis berduaan dengan orang lain, atau foto mesra mereka, atau fakta yang lain yang mendukung.

Namun jangan lupa, ada pula media infotainmen yang menggunakan kata ‘konon’ ini untuk sekadar memancing reaksi orang (narasumber) lain berdasar fakta yang sudah diperoleh. Kembali ke contoh di atas, maka media berusaha untuk memancing reaksi si artis yang selama ini bungkam atas peristiwa perceraiannya, atau memancing reaksi orantuanya yang selama ini terkesan sangat membela anaknya yang berstatus artis ini, atau bahkan reaksi orang-orang lain lagi yang merasa tidak nyaman (tidak diuntungkan) dengan peristiwa perceraian ini. Apabila para pihak ini terpancing untuk bereaksi maka semakin serulah gosip yang akan ditayangkan, dan media diuntungkan karena acara ini menjadi semakin ‘menarik’ untuk terus diikuti sehingga mendatangkan iklan.

Jadi, ketika Anda menyaksikan tontonan TV atau media cetak infotainmen yang menggunakan kata ‘konon…’ tersebut, harap bijaklah mencerna makna yang akan disampaikan oleh media tersebut supaya Anda tidak terhanyut dalam permainan skenario (agenda setting) yang sedang dimainkan oleh media tersebut.

Read Full Post »

ENDORSER

Tukul Arwana adalah contoh bagus untuk mengkaji fenomena brand endorser. Kira-kira th 2007, ketika si pelawak yang mulutnya mancung ini sedang dalam puncak kejayaannya, ia benar-benar menjadi wabah di layar kaca manapun. Selain hadir di acara Empat Mata Trans-7 (yang akhirnya dibredel KPI th 2008), ia juga hadir menjadi tokoh sentral pada beberapa produk iklan seperti minuman energi, jamu, hingga makanan. Yang juga cukup fenomenal adalah munculnya mbah Marijan sang tokoh penjaga Gunung Merapi dalam iklan jamu yang dipasang di berbagai platform media (TV, radio, cetak, hingga spanduk dan iklan di badan bus kota). Fenomenal, karena sebelumnya Mbah Marijan adalah ‘no one’, gak dikenal publik. Jauh sebelumnya, pelawak Mandra juga sempat membanjiri layar kaca dengan berbagai iklannya dari makanan hingga sepeda motor, selain rutin muncul dalam episode Si Doel Anak Sekolahan.

Fenomena penggunaan tokoh selebriti (atau seseorang yang di-selebriti-kan) menjadikan industri iklan kian menarik dan sexy. Bayangkan, untuk memproduksi sebuah iklan saja (durasi kira-kira 15 detik) bisa menelan biaya milyaran rupiah, belum termasuk biaya pemasangannya di berbagai media (media placement), yang paling sedikit dianggarkan 5 milyar rupiah. Dana senilai itu benar-benar diinvestasikan sebuah brand untuk mencapai sasaran, dengan menggunakan endorser si tokoh tadi.

Tentu saja, untuk memilih seorang tokoh yang sesuai dengan personifikasi sebuah produk harus diperhitungkan masak-masak, bahkan melalui survei langsung ke masyarakat. Hasilnya, yaitu sebuah peta persepsi (perceptual map) yang menempatkan tokoh-tokoh yang disurvei tersebut dalam sebuah kuadran yang memiliki empat karakter persepsi utama. Dengan mencermati peta tersebut, pengelola produk bisa memilih tokoh mana yang paling tepat atau sesuai dengan personifikasi produknya.

Yang jadi masalah adalah, bagaimana apabila sang tokoh di kemudian hari mengalami ‘masalah’? Misalnya saja tiba-tiba tersandung kasus kriminal, perceraian, atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan citra (image) yang ingin dibangun pemilik brand? Ya tentu saja sudah ada klausul yang dibuat di awal. Meski begitu, paling tidak hal ini tentu akan sangat merepotkan pemilik produk, karena berarti sekian milyar dana yang sudah dikeluarkan akan menguap tak berbekas. Brand image yang tekait dengan sang endorser harus segera diputus untuk segera digantikan dengan tokoh lain yang lebih positif dan menguntungkan.

Wah, jadinya seperti ‘berjudi’ juga ya memilih endorser ini? Siapa sih yang bisa memastikan di kemudian hari tak timbul masalah dalam perjalanan hidup sang bintang?

Read Full Post »

Anda yang bukan orang Jogja pasti bengong dengan kalimat di atas. Kalimat tersebut adalah sapaan untuk memperkenalkan seorang teman kepada sahabat yang memiliki arti “Iki cah-e dhewe Mas (Ini teman kita sendiri Mas).”

Sapaan di atas memiliki aura yang khas, sehingga percakapan biasanya langsung berubah jadi lancar dan akrab. Apalagi bila diucapkan antar sesama orang Jogja yang hidup di perantauan, kalimat tersebut seolah memiliki daya magis yang sakti untuk mencairkan suasana. Orang-orang yang hadir biasanya merasakan ada semacam ikatan batin yang kuat dan eksklusif, yang membedakan diri mereka dengan orang-orang di sekitar. Bisa ditebak, selanjutnya akan meluncur guyonan-guyonan dan plesetan akrab khas Jogja. Tak jarang, bahasa ini dipakai untuk mempercakapkan hal-hal yang sifatnya pribadi atau rahasia agar tak diketahui maknanya oleh orang lain.

Struktur kalimat di atas memang khas Jogja saja, hingga sering disebut dengan bahasa prokem-nya orang Jogja. Lalu bagaimana cara memahami kalimat-kalimat semacam itu? Gampang saja, kuncinya ada di bahasa Jawa ha-na-ca-ra-ka yang sudah diajarkan kepada anak-anak SD di seluruh pelosok Jogja. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

baris-1: ha-na-ca-ra-ka

baris-2: da-ta-sa-wa-la

baris-3: pa-dha-ja-ya-nya

baris-4: ma-ga-ba-tha-nga

Pada struktur pembentukan kalimat, maka baris-1 akan memiliki arti dan diterjemahkan ke dalam baris-3 dan sebaliknya. Begitu pula baris-2 akan memiliki arti dan diterjemahkan ke dalam baris ke-4 dan sebaliknya.

Jadi misalnya kalimat: “Kowe sopo (kamu siapa)?” maka akan diucapkan: “Nyothe boho?” Contoh lain lagi: “Adhine ayu tenan (adiknya cantik sekali)” maka akan diucapkan sebagai “Panidhe paru gedhad.” Atau misalnya: “Aku ora duwe duit (aku nggak punya uang)” akan diucapkan lebih sederhana menjadi: “Panyu poya muthig.”

Sedangkan yang agak rumit misalnya: “Aku ora ngerti opo-opo (aku tidak mengerti apapun)” maka akan diucapkan menjadi “Panyu poya lesgi po-o po-o.”

Ha..ha.. jadi mumet ya? Ya udah gak usah dipikirkan, karena hanya orang-orang Jogja saja yang mampu mengucapkannya dengan cepat dan tanpa berpikir panjang lebar. Bisa karena terbiasa.

Salut untuk bahasa prokem Jogja!

Read Full Post »

BAHASA MOTOR JAKARTA

Jakarta sudah menjadi kota sepeda motor (motor). Di setiap ruas dan sudut jalan motor mengalir bak air bah yang tak ada habisnya. Begitu banyaknya jumlah motor yang beredar di jalanan sehingga kecelakaan lalulintas yang melibatkannya sangat tinggi frekuensinya. Hal ini yang mendorong pemda DKI (pernah) berinisiatif menyiapkan jalur khusus motor, serta mewajibkan mereka menyalakan lampu di siang hari.

Persoalannya tidak berhenti disitu saja. Konflik antar pengendara motor sangat tinggi dengan cara saling serobot, saling pepet, saling adu cepat , dan terkadang dengan saling sikut. Motor juga mengalami konflik dengan mobil dalam bentuk yang rada-rada berbau kecemburuan sosial. Motor menganggap mobil yang badannya gede menjadi sombong sehingga tak menyisihkan jalur untuk mereka, atau mobil yang dingin karena ber-AC tak layak antre di bawah teduh pohon menunggu lampu hijau. Lokasi itu adalah hak pengendara motor. Saat hujan deras, pengendara motor ‘memarkir’ motornya di kolong jalan layang untuk berteduh tanpa peduli hal itu mengganggu arus lalulintas (mobil). Dan masih banyak alasan lain lagi yang merupakan fakta ‘perkelahian’ jalanan ini. Tabloid OTOMOTIF pun pernah pula mengadakan survei tentang hal ini.

Sebaliknya pengendara mobil menganggap motor sebagai pengguna jalan yang sering sembrono dan tak mengindahkan rambu-rambu jalan, sering motong jalan sembarangan sehingga mengagetkan pengendara mobil, dan alasan-alasan serupa lainnya.

Konflik jalanan ini terjadi tiap saat di jalan. Apabila terjadi kecelakaan lalulintas antara mobil dengan motor, maka pengendara motor lain akan menunjukkan solidaritasnya dengan membela pengendara motor, apa pun alasannya. Lebih sering mereka tak merasa perlu mempertimbangkan kronologi kecelakaan, tetapi langsung men-judge bahwa mobil pasti bersalah dan oleh karena itu pengendaranya harus bertanggungjawab termasuk membiayai perbaikan motor yang rusak. Sering pula terdengar kabar pengendara mobil dikeroyok para pengendara motor apabila menimpakan kesalahan kecelakaan pada pengendara motor.

Ya itulah fakta jalanan Jakarta. Jangan kaget apabila menemui motor Jakarta meraung-raungkan mesinnya yang memekakkan telinga ketika mendahului mobil. Seolah ia sedang berkata pada orang lain: “Hei.. inilah gue..” Atau ketika malam hari, jangan silau dengan sorot lampu rem motor di depan Anda yang berkilau terang (berwarna putih sepert lampu depan, bukan merah seperti lazimnya lampu rem). Seolah ia ingin berkata: “Hei loe yang di belakang gue.. mampus loe!”

Read Full Post »

GESTUR!

Dalam sebuah rapat DMM (Directors Management Meeting), suatu saat bos saya memandang saya, lalu menggerakkan kepalanya ke arah pintu keluar. Saya mengerti maksudnya, yaitu bos meminta saya keluar ruangan karena ada topik rapat yang sifatnya confidential yang hanya boleh diketahui oleh top management dan orang-orang tertentu saja. Saya segera beranjak keluar ruangan.

Gestur (gesture) atau bahasa badan memang merupakan salah satu bahasa komunikasi yang sudah lama menjadi kajian ilmu-ilmu komunikasi, karena manusia mempraktekkannya sejak lama. Dengan gestur seseorang bisa berkomunikasi dengan orang lain tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Sampai kini, bahasa badan inipun masih sering dipakai. Orang-orang modern menggunakannya apabila menghadapi situasi-situasi tertentu seperti misalnya sedang dalam rapat, sedang marah hingga tak bisa berkata-kata, sedang sedih, sedang gundah hati, dll.

Seperti kisah saya di atas, gestur memang menjadi bahasa isyarat yang memiliki makna (meaning). Gerakan  kepala bos saya memang memiliki arti meminta saya segera keluar ruangan, meskipun sebenarnya ia juga bisa mengucapkannya dengan kata-kata verbal (apa sih susahnya bilang..”please ke luar ruangan sebentar.. dst”).

Acapkali kita juga menyaksikan ayah atau ibu kita membeliakkan matanya karena marah pada kita, misalnya ketika kita bersikap nakal saat sedang ada tamu di rumah. Atau juga terjadi pada anak-anak di kelas yang sedang berkomunikasi materi nyontek di tengah-tengah pengawasan gurunya.

Meski begitu, kita perlu berhati-hati menggunakan gestur ini karena bisa menimbulkan meaning yang berbeda. Ketika dua orang berkomunikasi dengan gestur, terkadang perlu beberapa kali trial and error dalam membentuk kontruksi meaning-nya. Tetapi gestur yang universal dan biasanya memiliki pemahaman sama adalah anggukan (yang berarti setuju) dan geleng kepala (yang berarti tidak setuju).

Jadi jangan berumit-rumit ria ketika menggunakan gestur, nanti terlalu lama membentuk meaningnya. Simpelnya, jangan membuat pusing ‘lawan biacara’ (receiver) dengan gerakan-gerakan yang tanpa arti.

Read Full Post »

Older Posts »