“Blam..!!!” Pintu itu dibanting keras-keras, suaranya berdenging di kuping saya. Jarak antara pintu dengan kursi tempat saya duduk hanya sekitar 3 meter saja sehingga tendangan anginnya pun terasa menghantam kepala. Beberapa detik kemudian pintu terbuka lagi, dan sejurus kemudian dibanting lagi, “Blam..!!!” Saya sempat memperhatikan pembantu RT kami yang sedang mencuci piring di dapur mengernyitkan dahinya keheranan mendengar suara bantingan pintu berturut-turut tersebut. Tetapi dalam hati saya bergumam.. ah mungkin orang ini sedang kesal atau underpressure terhadap situasi kampus atau kantornya. Lalu saya meneruskan membaca koran.
Tetapi ternyata tidak hanya sekali dua kali peristiwa serupa terjadi, melainkan memiliki pola yang jelas. Setiap saya duduk di kursi makan itu, saya bisa memastikan bahwa akan terjadi lagi peristiwa seperti itu lagi. Dan memang benar! Sebaliknya, apabila saya tidak sedang duduk di kursi itu, sementara orang yang sama melakukan aktivitas masuk-keluar kamar, ternyata pintu tak berdebam. Ternyata bunyi suara pintu itu halus! Hanya terdengar suara “klek” saja…
That’s really a simple message for me! Sangat jelas karena sudah merupakan pola yang berulang, bahwa ketika saya duduk di kursi itu, pintu itu seolah-olah berteriak pada saya: “Hei.. pergilah kau ini!” Dan ketika saya belum beranjak dari kursi itu, pintu itu berteriak lagi: “Hei, apa kau tuli? Pergilah..!!” Oleh karenanya, saya harus pandai-pandai membaca situasi, segera menyingkir agar kuping saya tak dihantam suara itu lagi.
Suara bantingan pintu itu merupakan komunikasi non verbal yang sangat jelas artinya. Secara ilmiah, kekerasan suaranya merupakan metakomunikasi yang menggarisbawahi pesan yang disampaikan. Secara ilmiah pula, bantingan pintu itu merupakan media yang mengantarkan pesan dari pengirimnya (sender) kepada penerimanya (receiver, yaitu saya). Medianya memang hanya itu karena selama ini komunikasi sudah tak terjadi lagi, atau dengan kata lain komunikasinya sudah putus. Bangunan komunikasi yang sudah runtuh ini memang sulit untuk dibangun lagi karena terjadi psychological block yang sulit ditembus. Sudah terbentuk stereotip, atau lebih tepatnya stigma, di benak sender bahwa receiver adalah orang yang tak pantas dihargai dan tak dikehendaki kehadirannya.
Jelasnya, dentaman pintu itu merupakan komunikasi yang simpel yang disampaikan secara cepat tanpa perlu berkata-kata verbal apapun, dan membentuk makna (meaning) yang jelas sesuai konteks situasi yang terjadi.
Well, masih terus terngiang-ngiang suara dentaman pintu itu. Desiran bunyi dan anginnya nya tak hanya menghantam kuping saya, tetapi bak palu godam yang menghujam dada saya. Kini saya hanya berdoa agar dada ini tak runtuh karenanya. Jauh dari keinginan membusungkan dada, saya hanya berusaha agar stigma itu tak benar adanya. It’s time to rely on my dear beloved wife.